“Sri”
adalah seorang Pedila yang tinggal di salah satu komplek lokalisasi pantura Maribaya Tegal. Alasan perempuan kelahiran J***** 38 tahun silam ini menjadi seorang Pedila, bagi saya mengejutkan, sekaligus telah membuat hati saya merasa
getir. Kisahnya menjadi lebih manusiawi dibandingkan jawaban-jawaban lain yang
terkesan menyalahkan keadaan dan menimpakan tanggung jawab terhadap orang lain.
Wajahnya memang manis, bahkan nyaris “innocent”,
wajah yang bisa
dimiliki oleh ibu-ibu yang mengasihi suami dan anak-anaknya. Ijazah yang dimilikinya hanya sampai Sekolah Dasar, ketrampilan tidak dimilikinya, sementara ketiadaan uang menjadi makanannya sehari-hari. Maka syahlah menurut anggapannya kalau ia berikan tubuhnya untuk laki-laki yang bukan suaminya. “Sri” tidak pernah menyesali nasibnya, karena lika-liku jaringan perdagangan “seonggok daging” yang bernama seks melibatkan banyak pihak seperti mucikari dan sebagainya ia hanya menerima bersih uang sebesar Rp 75.000,-. Sebagian besar lainnya dipotong untuk ongkos
transport lokal, makan,
dan penginapan wisma yang ia tinggali.dimiliki oleh ibu-ibu yang mengasihi suami dan anak-anaknya. Ijazah yang dimilikinya hanya sampai Sekolah Dasar, ketrampilan tidak dimilikinya, sementara ketiadaan uang menjadi makanannya sehari-hari. Maka syahlah menurut anggapannya kalau ia berikan tubuhnya untuk laki-laki yang bukan suaminya. “Sri” tidak pernah menyesali nasibnya, karena lika-liku jaringan perdagangan “seonggok daging” yang bernama seks melibatkan banyak pihak seperti mucikari dan sebagainya ia hanya menerima bersih uang sebesar Rp 75.000,-. Sebagian besar lainnya dipotong untuk ongkos
Persoalan
yang dihadapinya memang sangat dilematik. Sekarang, prinsipnya adalah mencari
uang dengan menjual tubuhnya. Kenikmatan hubungan seks dan hubungan emosional
tidak pernah dirasakan dan dihayatinya lagi. Ia tidak pernah membeda-bedakan
tamunya, baik yang tampan maupun yang tidak, yang tua maupun yang muda..yang
terpenting ia telah melakukan sesuatu yang profesional, ia menjual tubuhnya dan
konsumen membelinya. “Sri” memiliki pandangan yang menarik tentang hal ini, ia
mengatakan bahwa yang kebetulan tidak tampan dan tua pun tidak dapat diremehkan
karena mereka mempunyai maksud yang sama yakni melampiaskan nafsu seksualnya.
Ia berpendapat bahwa sudah menjadi tugas kehidupannya sebagai manusia, melayani
laki-laki yang menginginkan pemuasan nafsu seksualnya melalui tubuh
keperempuannya.
Seseorang
yang telah memilih menjadi pelacur atau Pedila harus dilihat sejauhmana
ia melakukannya secara sadar. Seseorang yang memilih keburukan dalam mata
rantai hidupnya, sesungguhnya tidak boleh dianggap remeh, sebab bagaimanapun ia
telah mempertaruhkan hidupnya. Aturan-aturan moral hanyalah sistem norma yang
bersifat menunjukkan secara umum mana perbuatan baik dan mana perbuatan buruk
berdasarkan kaidah yang ada. Namun harus diingat ada aturan moral pula yang
menghormati pilihan sadar orang lain. Hal ini tidak bisa dihindarkan karena
setiap orang pasti memiliki pengalaman, pandangan hidup yang berbeda, bahkan
seringkali tidak mampu dipahami oleh orang lain. Persoalan krusial kita adalah
bagaimana dapat melihat secara jernih dan obyektif pilihan hidup sebagai Pedila. Mengapa ada orang yang memilih keburukan sebagai bagian dari
hidupnya? Pilihan untuk bertindak tentunya selalu terkait dengan sebab yang
mendahuluinya. Walaupun demikian, di sisi lain ada pertanyaan penting yang
perlu dijawab pula oleh si Pedila: “Apakah memang benar keputusan untuk
menjadi Pedila merupakan satu-satunya alternatif?”.
0 komentar:
Posting Komentar